Profil Puang Ramma salah satu tokoh pendiri NU Sulsel
PROFIL
ALLAHU YARHAM PUANG RAMMA
A. Nasab dan Silsilah
Nasab berarti al-qarābah,
yakni hubungan keluarga secara biologis dari ayah, yang dalam al-Munjid
disebutkan nisbatuhu ilā abīhi nasaban (dia dinisbatkan kepada ayahnya),[1]
sehingga dipahami bahwa nasab itu khusus pada keturunan seayah.[2] Penggunaan
nasab dengan menyebut nama keturunan seayah, sesuatu yang disyariatkan
sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ahzab/33: 5, yakni ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقَسَطُ
عنْدَ الله (sapahlah
mereka dengan berdasarkan nama keturunan ayah mereka, itulah lebih adil di sisi
Allah).[3]
Untuk mengetahui
turunan seseorang, selain menyebut nama ayah maka lebih jelas lagi bila
tambahkan nama marga atau fam turunan ayah ke atas seperti Assegaf sebagai leluhur induk dari banyak keluarga
Alawiyin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladawilah (generasi ke-22 dari
Nabi saw), yang menurunkan ulama-ulama sufi besar bertaraf waliyullah dengan
kharisma dan memiliki spiritual power luar biasa. Nasab mereka melalui jalur Sayyidina
Husein bin Ali Zawj Fatimah al-Zahrah binti Muhammad Rasululullah saw., salah
satunya adalah Allahu Yarham Syaikh Sayyid al-Habib Kiai Haji Jamaluddin
Assegaf Puang Ramma al-Khalwatiyah Syaikh Yusuf al-Makassari Qaddasallahu
Sirrah, yang lebih akrab dengan sapaan Puang Ramma.
Dengan adanya fam Assegaf pada nama Puang Ramma berarti,
beliau memiliki nasab secara biologis yang sampai pada Nabi saw. Selain
itu terdapat lagi beberapa laqab
(gelar
khusus) sebagai simbol penghormatan mengawali namanya yakni syaikh, sayyid, habib,
kiai, dan haji, memiliki makna spesifik sebagai tanda kemuliaannya.
Syaikh (شيخ) juga dapat ditulis syekh atau syeikh, adalah
kata dari Bahasa
Arab yang berarti kepala suku, pemimpin, orang yang dituakan, atau ahli
agama Islam.
Sedangkan sayyid (سَيِّدٌ) berarti tuan
memiliki beberapa pengertian antara lain, orang yang memiliki banyak pengikut,
orang yang paling unggul diantara kaumnya, orang yang menjadi rujukan dalam
urusan-urusan penting masyarakat dan orang yang memiliki pribadi luhur dan
bijak. Selanjutnya habib (حبيب) berarti ter-cinta, disenangi, kekasih dan yang dikasihi. Jika
didahului huruf alīf dan lām (al-habib/الحبيب) maka dinisbatkan kepada Nabi saw., dan belakangan ini laqab
tersebut dipakai juga oleh keturunan Nabi saw.
Khusus untuk laqab
kiai, adalah gelar dari
masyarakat yang diberikan kepada Puang Ramma yang dipandang alim atau pandai
dalam bidang agama Islam dan karena ketinggian ilmu serta pemahaman keagamannya
yang mendalam. Di
kalangan umat Islam, kiai identik dengan simbol keulamaan seseorang yang di
Jawa disebut ajengan, atau di daerah Bugis disebut panrita yang
akrab dengan sapaan nama anregurutta, atau anrongguru di kalangan
masyarakat suku Makassar, dan annangguru untuk di daerah Mandar.
Adapun kata haji, yang juga melekat pada awal nama Puang Ramma,
adalah gelar yang disandangnya setelah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci,
Mekah. Kata haji tersebut asal maknanya adalah
ziarah, yakni mengadakan
perjalanan ritual ke Masjidil Haram dengan tujuan beribadah kepada Allah swt,
guna memenuhi kewajiban rukun Islam yang kelima.
Selanjutnya, untuk laqab atau gelar al-Khalwatiy
Syaikh Yusuf al-Makassari yang mengikut pada nama Puang Ramma, adalah tarekat
beliau yang sumbernya dari silsilah tarekat al-Khalwatiyah jalur versi Syaikh Yusuf al-Makassari. Silsilah tarekat
ini, secara muttasil sampai kepada Nabi saw., ber-dasarkan ijazah yang diterima
Puang Ramma dari guru-guru atau mursyidnya dengan urutuan sebagai berikut:
1) Sayyidul Mursalin Muhammad saw
2) Sayyidina Āli bin Abū Tālib
Karramallahu Wajha
3) Sayyidina Hasan al-Bashriy
4) Sayyidina al-Gawśu Habīl al-Jami’
5) Sayyidina Dawud Atthai
6) Sayyidina Ma’rūf al-Karhi
7) Sayyidina Sirru al-Saqatiy
8) Sayyidina Junaid al-Bagdadiy
9) Sayyidina Munsyid al-Dīnūriy
10) Sayyidina Ahmad Aswad al-Dīnūriy
11) Sayyidina Muhammad bin Abdullāh
12) Umar bin Abdullah
13) Najib bin Abdullah
14) Sayyidina Muhammad al-Anhāriy
15) Syaikh Ruknuddīn al-Siyāsyiy
Sahabuddin al-Thabrāsiy
16) Syaikh Sayyid Jamaluddin
al-Thabrisiy
17) Syaikh Sayyid Ibrāhim al-Kaylāniy
18) Syaikh Sayyid Abdullah al-Syarwaniy
19) Syaikh Sayyid Affandiy Umar
al-Khalwatiy
20) Syaikh Sayyid Yahya al-Syarwaniy
21) Syaikh Affandi Zubair al-Rūmiy
Muhammad Anshriy
22) Syaikh Sayyid Abdullah al-Qarniy
23) Muhammad al-Anshari
24) Syaikh Sayyid Uwais al-Qarniy
25) Syaikh Sayyid Syamsuddin al-Rūmiy
26) Syaikh Sayyid Idrus al-Rūmiy
27) Syaikh Sayyid Ya’qūb al-Antabiy
28) Syaikh Sayyid Ahmad al-Rūmiy
29) Syaikh Sayyid Waliyyu al-Habiy
al-Ajaniy
30) Syaikh Sayyid Ahmad bin Umar
31) Abu Barakah Ayyub al-Khalwatiy
32) Syaikh Sayyid Yusuf Abu al-Mahasin
Taju al-Khalwatiy al-Makassariy
33) Syaikh Abū al-Fathi Abdul al-Bashīr al-Dhahir al-Khalwati Tuan
Rappang
34) Abū al-Sa’ad al-Fadhil
35) Syaikh Abdul Majib Nuruddin Ibn Abdillah
36) Sayyid Abdul Gaffar al-Saqqaf
37) Sayyid Muhammad Zainuddin al-Saqqaf
38) Sayyid Ali al-Saqqaf
39) Sayyid Hasan al-Saqqaf
40) Sayyid Ibn Hajar al-Saqqaf
41) Sayyid Abdul Malik al-Saqqaf
42) Sayyid Jamaluddin al-Saqqaf Puang
Ramma
Dalam
silsilah di atas, marga Assegaf disebut dan ter-tulis al-Saqqaf pada nama Puang
Ramma, sebagaimana telah dikemukakan marga ini dari keturunan Nabi saw.,
golongan Alawiyyin. Mereka dari Hadramaut menyebarkan Islam sambil berdagang di
Nusantara pada abad ke-17, yang sampai sekarang telah melahirkan banyak
keturunan dan menetap di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Makassar.
Selain Assegaf masih ditemukan fam lain yang senasab, atau
sama-sama memiliki silsilah dari Nabi saw., seperti al-Alawiy, al-Aydrus,
Shahab/Shihab, al-Qutban, al-Musawa, al-Fakhir, al-Hamid, al-Humaid dan
selainnya. Fam atau marga ini, menyertai nama mereka dan telah mentradisi
terutama di kalangan ulama sufi.
B. Riwayat Hidup
Puang Ramma yang bernama lengkap Allahu Yarham Syaikh Sayyid
al-Habib Kiai Haji Jamaluddin Assegaf Puang Ramma al-Khalwatiyah Syaikh Yusuf
al-Makassari al-Magfur Qaddasallahu Sirrah, lahir pada tanggal 21 Juni 1919 M.,
di Kampung Tambua Kabupaten Maros, yang terletak sekitar 12 Kilometer ke arah Utara dari Bandara Sultan
Internasional Sultan Hasanuddin Makassar.
Orangtua Puang Ramma, bernama Sayyid Ahmad Hanbal
Assegaf Puang Lau, yang menetap di Pulau Salemo, menikah dengan Syarifah
Mukminah, kemudian melahirkan empat orang anak laki-laki dan dua perempuan,
yakni Abdul Hamid Assegaf Puang Cora, Abdul Majid Assegaf Puang Sikki, Abdul
Rahman Assegaf Puang Tiga, Abdul Rahim Assegaf Puang Makka, Sayyidah Wahidah
Assegaf dan Sayyidah Wihdah Assegaf.
Semasa kecilnya, Puang Ramma mengaji secara privat di
hadapan orangtuanya dengan sistem mangngaji tudang, juga belajar tentang dasar-dasar ilmu agama terutama
bahasa Arab, kemudian secara formal belajar kitab-kitab di Pesantren
Pulau Salemo Kabupaten Pangkep di hadapan gurunya bernama Anreguru K. H. Abdul
Rasyid, dan beberapa ulama lainnya seperti K.H. Muhammad, K. H. Abdul Aziz,
K.H. Muhammad Sunusi, K.H. Minahajje, K.H. Cande, K.H. Abubaedah. Dari guru dan
kiai-kiai inilah, Puang Ramma menerima banyak ilmu agama dan menguasai
kitab-kitab kuning berupa kitab tafsir dan ilmu tafsir, hadis dan ilmu hadis,
fikih dan usul fikih, ilmu tasawuf dan selainnya.
Memasuki tahun 1943, Puang Ramma menikah di Gowa
tepatnya di Balang Baru, dan selanjutnya masih sering ber-kunjung ke ulama yang
dianggapnya memiliki kredibilitas untuk belajar dan berdiskusi untuk lebih
memperdalam ilmu-nya, sehingga beliau akrab dengan beberapa ulama sezaman-nya
seperti K.H. Ahmad Bone, K.H. Muhammad Ramli dan bersama ulama lainya
mendirikan majelis ilmu di berbagai daerah, dan setelah memiliki banyak jamaah,
beliau mendiri-kan Rabithatul Ulama, sebuah organisasi yang bebasis Ahlus
Sunnah wal Jamaah sebagai cikal bakal berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama
(NU) di Sulawesi Selatan.
Tahun 1945 saat Puang Ramma menetap di Balang Baru,
bergabung dengan Lapris Lipang sebuah organisasi keislaman di Bajeng Polong
Bankeng, dan beliau mendapat kepercayaan sebagai qadhi Jogayya Gowa pada tahun
1946. Dalam pada itu Puang Ramma membuka pengajian rutin setiap ba’da Magrib di
beberapa mesjid, terutama di Mesjid Jami’ Sungguminasa.
Selanjutnya sekitar tahun 1950, Puang Ramma pindah ke
Ujung Pandang (sekarang Kota Makassar), dan mendirikan lembaga pendidikan
formal, yakni Perguruan Islam Nasrul Haq di Jalan Sungai Walannae. Saat Puang
Ramaa membina lembaga pendidikan tersebut, beliau juga mendirikan mesjid
Miftahul Khaer, dan mendapat kepercayaan sebagai Imam Mamajang Distrik Mariso.
Selain itu, beliau menjadi Anggota CPM Detasmen 71 Sulawesi, beliau juga
dipercayakan sebagai Tim Work Panitia Penolong Tentara Indonesia (PPTI) yang
dipimping oleh Bung Tomo.
Pada tahun 1954, Puang Ramma ke Tanah Suci, Mekah
menunaikan ibadah haji dan di sana beliau menggunakan kesempatan belajar
dihadapan Allamah Syaikh Muhammad Sanusi. Tidak lama sekembalinya dari Mekah, Puang
Ramma menjadi anggota Majelis Mahkamah Syariah Ujung pandang, dan menjadi
Panitia Pembangunan Mesjid Raya Makassar, selanjutnya dipercaya menjadi anggota
Dewan Konstituante RI pada tahun 1955-1959. Di dewan inilah Puang Ramma ber-sahabat
dengan Buya Hamka, seorang ulama tenar yang telah menulis Tafsir Azhar dan
Tafsir al-Bayan.
Setelah menjadi Dewan Konstituante, Puang Ramma
kembali fokus pada pembinaan umat dan aktif mengajar di lembaga pendidikan
Nasrul Haq yang telah didirikannya,
serta bersama ulama lain memajukan dunia pendidikan Islam dengan mendirikan
Perguruan Islam DDI Mariso, juga men-dirikan Perguruan Islam BPI Sambung Jawa
pada tahun 1965, serta menjadi perintis pendirian Universitas Muslim Indonesia
(UMI) dan IAIN (sekarang UIN) Alauddin Makassar.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1971, Puang Ramma
dipercaya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Agama Kabupaten Gowa, dan beliau
terpilih menjadi anggota DPRD Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan, tahun
1972-1977.
Setelah menjadi anggota dewan legislatif, Puang Ramma
fokus pada pembinaan umat melalui Nahdlatul Ulama, pada ormas Islam terbesar
ini beliau dipercaya sebagai Rais Syuriah periode tahun 1977-1982 selanjutnya
menjadi mustasyar dan mursyid Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy.
Demikian sirah hidup Puang Ramma, yang telah
meng-abdikan dirinya untuk umat, bangsa dan negara sampai akhir hayatnya,
beliau wafat di kediamanya Jalan Baji Bicara Nomor 7 Makassar pada hari Jum’at
15 Sya’ban 1427 H, atau tanggal 8 September 2006 M, dan dimakamkan ditempat
kelahirannya di Desa Tambua Kabupaten Maros.
C. Rutinitas dan
Aktivitas
Sejak masa kecilnya, Puang Ramma dikenal orang yang
sangat disiplin waktu. Setiap selesai magrib beliau mengaji dan mengkhatamkan
Al-Qur’an setiap bulannya. Rutinitas seperti ini telah menyatu dalam hidupnya baik
semasa aktif sebagai qadhi, imam, guru, anggota legislatif, Rais Syuriah dan
Mustasyar NU sampai menjadi mursyid tarekat.
Di selah-selah kesibukannya, dan dalam kondisi apapun,
Puang Ramma selalu bangun tengah malam, sekitar jam 2.00 dini hari untuk melaksanakan
salat tahajjud, dan di pagi hari sekitar jam 9.00 melaksanakan salat dhuha.
Sudah menjadi komitmen pribadi beliau, bahwa tujuh macam salat menjadi
kewajiban yang pantang untuk ditinggalkan, yaitu salat fardu lima kali sehari
semalam, ditambah dua salat sunnat, yakni tahajjud dan dhuha sebagaimana yang
disebutkan.
Salat tahajjud secara rutin dan dengan keikhlasan
dalam melaksanakanya memiliki pengaruh yang sangat kuat pada diri Puang Ramma. Salat
tahajjud tersebut, dijadikannya sebagai momen yang paling tepat dan wahana
utama untuk berhubungan dengan Allah di saat umat manusia terlelap dalam
tidurnya. Beberapa kali Puang Ramma terjatuh dan tersungkur saat dan setelah
salat tahajjud, tetapi dianggapnya sebagai obat, bahkan menurutnya sebagai
penguat daya tahan tubuh. Itulah sebabnya ketika beliau terjatuh, tidak pernah merasakan
sakit sedikitpun, tidak terluka, dan tidak pula mengeluh. Menurutnya pula bahwa
dengan salat tahajjud, seseorang terhindar dari berbagai penyakit, tidak mudah
stres ketika menghadapi problematika kehidupan. Dengan salat tahajjud itu juga,
dianggapnya sebagai sumber energi yang mengalir deras dalam relung-relung jiwa
dan menjadi pelita hidup di kemudian hari.
Sedangkan salat dhuha menurut Puang Ramma, adalah sebagai
wahana untuk memperbanyak rezki serta keberkahan hidup. Karena itu menurutnya,
bagi yang rutinitas melaksana-kan salat dhuha secara khusyu dan ikhlas, tidak
akan ditimpa kemiskinan dan kesusahan hidup, mereka senantiasa diberi
kelapangan dalam berusaha dan kebahagiaan hidup.
Salat dhuha maupun tahajjud yang menjadi rutinitas
Puang Ramma, masing-masing delapan rakaat, namun alokasi waktu yang digunakan
dominan lebih banyak salat tahajjud, yakni rata-rata dua jam setiap malamnya,
sedangkan salat dhuha sekitar satu jam.
Setiap setelah salat tahajjud, Puang Ramma tidak tidur
lagi sampai terbitnya matahari. Beliau berzikir sampai masuk-nya waktu fajar
dan bersiap menunaikan salat Shubuh secara berjamaah, setelah itu beliau
mengamalkan beberapa wirid yang menjadi amalam rutin tarekatnya, dan kebiasaan
yang tidak pernah ditinggalkan Puang Ramma sampai hari tuanya setiap selesai
salat Shubuh adalah jalan-jalan pagi untuk ber-silaturahim dengan tetangga dan
masyarakat sekitar, sambil berolahraga ringan seperti lari-lari kecil, dan saat
berada di depan rumah seringkali beliau menggunakan waktu untuk ma’raga, setelah
itu mandi dan mencuci pakaiannya sendiri, serta sejenak menggunakan waktu
istrahat untuk kemudian menunggu waktu yang tepat melaksanakan salat dhuha.
Biasanya setelah salat dhuha, Puang Ramma duduk di
ruang tengah rumah, terkadang pula teras rumah, membaca kitab dan disaat-saat
demikian seringkali beliau didatangi tamu. Pada tahun 1950-1970-an, waktu itu
beliau masih menetap di Jalan Anuang tetamunya yang sering datang di kalangan
ulama antara lain K.H. Muhammad Ramli, dan K.H. Saifuddin, termasuk Buya Hamka
jika ke Makassar pasti berkungjung ke rumah beliau. Setelah pindah di Jl.
Bicara Bicara tahun 1980-an tetamunya yang sering datang adalah K.H. Muhammad
Nur, Habib Ali Ma’bud, K.H. Danial, K.H. Harun al-Rasyid, K.H. Hasyim
Naqsyabandi, Dr.K.H. Mustafa Zuhri, dan tokoh lain yang sering mengunjungi
beliau adalah Andi Mappayukki, belakangan di era 1990-an adalah H. Muhammad
Jusuf Kalla selalu datang berdua dengan Aksa Mahmud. Sedangkan ulama generasi belakangan yang
sering datang ke rumah beliau sampai wafatnya adalah K.H. Sanusi Baco, K.H.
Abdurrahman B, K.H. Harisah. Dia antara tiga ulama yang disebutkan terakhir
ini, K.H. Harisah yang juga murid Puang Ramma paling sering datang berkunjung,
ber-silaturahim dan meminta tawsiahnya.
Pada siang harinya, setelah salat dhuhur Puang Ramma
menggunakan waktu istrahat sampai memasuki salat ashar. Setelah itu, beliau
kembali memanfaatkan waktunya untuk bersantai dengan keluarga dan kerabat, atau
terkadang pula beliau keluar rihlah menikmati suasana kota Makassar dengan
mengendarai motor besarnya, Harlay Devidson. Begitu sekitar jam 17.00 sore
kembali ke rumah dan berzikir menunggu masuknya waktu magrib, setelah itu
membaca ayat Al-Qur’an (tadarrus) sampai Isya’, dan biasanya isterahat
malam setelah menonton acara Dunia Dalam Berita di TVRI. Rutinitas yang tidak
pernah ditinggalkannya sebelum isterahat malam adalah mattale, membaca
kitab-kitab sebagai pengantar tidurnya.
Dalam keseharian Puang Ramma, terlihat penampilan-nya
yang sangat sederhana namun berwibawa, style pakaian yang digunakan adalah
sarung dan kemeja lengan panjang lengkap dengan sorbannya. Biasanya hanya
menggunakan sarung saat masuk kamar kecil, dan tidak mengenakan sarung tersebut
untuk salat. Saat makan, beliau senantiasa memakai kopyah, beliau makan disaat
lapar dan menyudahi sebelum keyang. Etika dan pola makan yang demikian ini,
diterapkan pula kepada anak-anaknya.
Puang Ramma dikenal sangat ketat dalam mendidik
anak-anaknya, dan menanamkan sikap kedisiplinan di dalam lingkungan
keluarganya. Beliau mewajibkan salat berjamah dan makan bersama di antara
keluarga. Jika kedatangan tamu, beliau makan bersama tamunya tanpa membedakan
status sosial siapa tamu tersebut, jika tetamunya adalah pejabat dan
sebagiannya adalah tamu dari kalangan masyarakat biasa, diajaknya makan secara
bersama-sama, dan beliau lebih men-dahulukan tetamunya mengambil
prasmanan.
Puang Ramma memiliki kepribadian yang akomodatif, tutur
katanya sopan namun tegas, setiap kata dan kalimat yang terucap dari mulut nya
mudah dimengerti dan dipahami bagi yang mendengarnya, hal ini terutama jika beliau
mem-bawakan ceramah dan pengajian. Pada momen seperti itu, beliau sangat keras
dalam menyampaikan kebenaran, namun sangat terbuka terhadap pendapat orang
lain, sehingga setiap orang yang berjumpa dengannya dihargainya. Beliau tidak
bersikap diskriminatif, beliau mengayomi siapa saja, tidak pernah bersikap dan
berucap yang dapat menyebabkan orang lain tersinggung. Sikap santun seperti
ini, terlebih dahulu di-terapkan dalam rumah tangganya. Tidak pernah terjadi
konflik antara beliau dengan isteri dan anak-anaknya, apalagi mengeluarkan
ucapan yang emosional seperti marah. Beliau memilih diam bila ada hal yang tidak
disetujuinya, kemudian menerapkan apa yang diinginkan dengan cara lain.
Puang Ramma sangat empati untuk kebaikan orang lain
dan sangat tinggi keprihatinanya terhadap kesulitan yang di-hadapi orang lain.
Beliau ringan tangan mengulurkan infak dan sedekah terhadap orang yang
membutuhkannya, apalagi untuk kepentingan jamaahnya. Karena itu, beliau minimal
empat kali dalam sebulan mengunjungi jamaahnya di ber-bagai tempat tanpa
mengenal jarak yang berjauhan dengan berbagai resiko yang harus dilaluinya.
Parangloe misalnya, sekitar 100 km dari Makassar dengan menapaki medan jalan
yang terjal, menyusuri gunung dan pendakian yang tinggi. Tempat jamaahnya yang
sering pula dikunjungi, adalah Pulau Salemo tanpa mengenal panas terik
matahari, dan gelombang ombak lautan yang menghalangnya.
D. Khawaish dan
Karamah
Khawaish yang dimaksud di sini adalah kelebihan khusus
yang dimiliki seorang wali karena kedalaman ilmu dan amal nya serta
kedekatannya terhadap Allah, sedangkan karamah adalah pemberian Allah swt
berupa keluarbiasaan yang terdapat pada diri seorang wali yang tidak dapat
dinalar oleh manusia secara umum, dimana keluarbiasaan itu disaksikan oleh
orang banyak pada diri seorang wali tersebut.[5]
Puang Ramma sebagai waliyullah dan habibullah yang
dikenal masyarakat luas, yang dalam kedudukannya sebagai ulama, guru tarekat,
dan mursyid yang sangat disegani, baik oleh sesama ulama maupun penguasa,
memiliki khawaish dan karamah dalam posisinya warasatul anbiyā, yang mewarisi
kepribadian Nabi Muhammad saw, sehingga patut dijadikan uswah dan
keteladanan.
Secara sepintas khawaish dan karamah Puang Ramma,
dapat dilihat dari kepribadiannya yang terpuji, terpancar pada wajahnya yang
senantiasa cerah dan bersih sehingga setiap orang yang berjumpa dengannya
merasa kagum dan ingin dekat dengannya, dan membuat seseorang yang pernah
ber-jumpa dengannya merasakan kerinduan. Karena itu, beliau sangat dicintai
masyarakat dan jamaahnya, beliau dijadikan pengayom dan tempat berlindung kapan
dan dimanapun.
Puang Ramma diakui memiliki keberkahan sebagai bagian
dari khawaish dan karamahnya, sehingga masyarakat apalagi jamaahnya selalu
minta barakka darinya. Melalui doanya yang dikabulkan Allah swt., dan
dengan amalan ritualnya yang dilakukannya, mampu menyembuhkan ber-bagai
penyakit, seperti sakit mata, sakit kepala, sakit perut dan penyakit ringan
lainnya. Cukup segelas air putih yang beliau berkahi melalui doanya dan
ditiupkan energi doa tersebut, yang bersangkutan setelah meminum air di gelas
tadi akan sembuh. Masyarakat banyak yang berdatangan kepada beliau dengan
tujuan tersebut, dan khasiatnya dibuktikan sendiri oleh mereka, sehingga
diyakini bahwa karamah beliau diyakini benar adanya.
Selain penyakit yang telah disebutkan, Puang Ramma
dengan karamah yang diberikan Allah kepadanya, mampu mengusir dan mengeluarkan
roh yang bersemayam pada diri seseorang. Dalam berbagai kasus kesurupan, beliau
sering menanganinya. Beliau juga mampu membuat seseorang tidak berdaya jika
berhadapan dengannya, terutama apabila orang tersebut melakukan kesalahan dan
hendak melakukan per-lawanan fisik.
Suatu ketika di sekitar jalan Cendrawasih Puang Ramma
setelah pulang khutbah jumat, sekumpulan masyarakat meng-adakan pesta miras,
minum ballo, dan menyatakan sesuatu yang kurang berkenan pada diri beliau.
Sesaat setelah itu, Puang Ramma mendekati tempat tersebut, dan kelihatan
sekumpulan masyarakat tadi akan mengadakan perlawanan namun dengan izin Allah,
justru mereka lari dan terpental, bahkan sebagian besar terjatuh. Sejak itu,
tempat yang dijadi-kan pesta miras tadi, ditutup dan tidak lagi digunakan untuk
kegiatan serupa, bahkan masyarakat sekitarnya menjadi sadar dan taat dalam menjalankan ibadah.
Demikian pula di daerah Borong-Antang, pada masa lalu
masyarakatnya sangat doyang dengan minum minuman keras, suatu waktu Puang Ramma
memberikan pengajian di sana, dan mendoakan mereka untuk sadar dan bisa
berhaji, beberapa tahun kemudian masyarakat tersebut sangat taat beribadah,
bahkan sebagian besar mereka telah menunaikan ibadah haji.
Pada kasus lain, suatu waktu Puang Ramma di sekitar
Rappocini hendak menuju ke Mesjid Miftahul Khaer untuk membawakan pengajian,
masih sulit sarana transfortasi saat itu, yang ada hanya satu becak, itupun
tukang becak pada awalnya menolak mengantar beliau dengan alasan kecapekan dan
hendak pulang ke rumahnya, namun dengan kalimat Puang Ramma yang begitu sangat
mengharap, tukang becak tadi bersedia mengantar beliau, dan tanpa diluar
kesadaran tukang becak itu merasa bahwa
yang diantarnya ini adalah seseorang yang memiliki karamah, karena menurutnya
bahwa seakan-akan ada pihak lain yang membantu menggayung becaknya secara
cepat, dan secapat itu pula hanya sekitar lima menit saja perjalanan
ditempuhnya, dari Rappocini ke Mesjid Miftahul Khaer, Jalan Sungai Walannae.
Pada peristiwa lain, Puang Ramma menyebrangi lautan
dari Makassar menuju Pulau Salemo, yang sekitar dua mil mendatang terdapat
ombak besar setinggi dua meter. Pada awalnya kapten kapal tidak bersedia
membawa penumpang dengan alasan tingginya ombak yang akan menghadang dan
diperkirakan hujan akan turun, namun karena kapten kapal mengetahui bahwa di
antara penumpangnya itu ada Puang Ramma, maka berlayarlah kapal tersebut dengan
muatan sekitar 50 orang, saat berada di tengah laut semua penumpang panik
karena melihat adanya gelombang ombak yang tinggi beberapa meter kedepan yang
akan dilewati, disertai gemuruh petir dan kilat petanda turunnya hujan, saat
panik tersebut Puang Ramma menuju ke bagian terdepan kapal sambil menengadahkan
tangannya seraya berdoa, walhasil ombak tersebut sedikit demi sedikit menurun
sampai berakhirnya doa beliau, air laut menjadi tenang dan hujan pun tidak jadi
turun, sehingga mereka sampai ke tujuan dengan selamat.
Masih banyak lagi data tentang karamah Puang Ramma
yang disaksikan masyarakat dan dituturkan oleh banyak orang, namun untuk
menghindari kesan yang berlebihan ter-hadap beliau, cukup dengan kejadian,
kasus, dan peristiwa yang luar biasa disebutkan tadi, menjadi bukti bahwa beliau
memiliki karamah yang patut dijadikan ibrah dan hujjah berkenaan dengan kemahakuasaan
Allah swt. Yang jelasnya, sepeninggal Puang Ramma, sampai saat ini khawaish dan
karamahnya masih dapat dibuktikan oleh masyarakat dengan kesakralan kuburannya
di Tambua Maros.
Masyarakat secara
umum banyak menziarahinya, ter-utama pada waktu-waktu tertentu, seperti
saat-saat sebelum pemberangkatan dan setelah kembali dari tanah suci Mekkah. Demikian pula pada saat menjelang bulan suci Ramadhan, dan setelah hari
raya Idul Fitri, serta waktu-waktu lainnya.
Tujuan para penziarah yang datang ke kuburan Puang
Ramma, adalah kebanyakan untuk mencari keberkahan. Karena, selain kuburannya disakralkan
dan disucikan, Puang Ramma juga dianggap orang suci, waliyullah, dan mem-punyai
kelebihan dibanding manusia biasa.
E. Ketokohan dan
Perjuangannya
Ketokohan dan perjuangan Puang Ramma tidak terlepas
dari jasa-jasanya sebagai murysid tarekat yang mengembang kan tarekat
khalawtiyah Yusuf al-Makassariy, dan sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU) di
Sulawesi Selatan sebagai ormas terbersar Islam yang memiliki banyak jamaah.
1. Mursyid
Tarekat Khalawtiyah Yusuf al-Makassariy
Mursyid adalah sebutan
untuk seorang maha guru pem-bimbing dalam dunia tarekat, yang telah memperoleh
izin dan ijazah dari guru mursyid diatasnya yang terus bersambung sampai kepada
nabi, Rasulullah saw.[6] Oleh
karena itu, jabatan ini tidak boleh di pangku oleh sembarang orang, sekalipun
pengetahuannya tentang ilmu agama cukup lengkap, tetapi yang terpenting ia
harus memiliki ketersambungan sanad dan silsilah ijazah sampai kepada Nabi saw.
Selanjutnya
tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi atau
calon sufi dengan tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan.[7]
Saat ini dipahami secara umum tiap tarekat mempunyai syaikh, upacara ritual dan
zikir sendiri. Tarekat dalam bahasa Arab “الطريقة” artinya jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu, yakni
petunjuk tentang ibadah sesuai dengan ajaran yang telah ditentukan dan
dicontohkan oleh Nabi saw dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun
temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai berantai.
Khalawtiyah Yusuf al-Makassariy, adalah tarekat yang
dimana Puang Ramma sebagai mursyidnya, silsilahnya dari seorang sufi ulama dan
pejuang makassar abad ke-17, syaikh Yusuf al-Makasariy al-khalwatiyah, yang tabarruk terhadap
Muhamad (Nur) al-Khalwatiy al-Khawa Rizmi (w. 751-1350).[8] Syaikh Yusuf al-Makasariy, yang pertamakali
menyebarkan tarekat dan kemudian di era tahun 1950-an dikembangkan Puang Ramma,
ijazahnya bersambung sampai kepada Nabi saw, yang dalam sejarah tarekat ini
disebutkan bahwa pada tahun 1670 M., Syaikh Yusuf al-Makasari berguru dan men-dapatkan
ijazah dari Syaikh Abu al-Barakah Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwatiy al-Quraisyi
serta mendapat gelar taj
al-khalwati sehingga namanya menjadi Syaikh Yusuf Taj al-Khalwatiy.
Di Sulawesi Selatan beliau digelari Tuanta salamaka ri Gowa (guru kami
yang agung dari Gowa), nama lengkapnya adalah Muhamad Yusuf bin Abdullah Abu Mahasin
al-Taj al-Khalwati al-Makassariy.[9]
Puang Ramma setelah menerima ijazah dari gurunya dan resmi
menjadi mursyid tarekat Khalwatiyah Yusuf al-Makassariy, senantiasa berupaya
mengembangkannya dengan cara mendirikan cabang-cabang lokal, jamaahnya bebas
ber-campur dengan masyarakat yang tidak menjadi anggota tarekat. Adapun anggota
tarekat ini banyak berasal dari kalangan bangsawan Makassar termasuk penguasa
kerajaan gowa terakhir Andi Idjo Sultan Muhamad Abdul Kadir Aidid (1940-1960),
dalam perkembangan berikutnya Puang Ramma lebih menfokuskan perkembangan
tarekatnya secara merata ker berbagai lapisan masyarakat tanpa mengenal komposisi
dan strata sosial, yang karena itu sebagian besar pengikutnya di Kota Makassar
dan di pedesaan dominan di Parangloe dan Pulau Salemo.
Tarekat Khalwatiyah Yusuf al-Makassariy yang dipimpin
Puang Ramma semasa hidupnya, merupakan amanah dan warisan dari pendirinya,
Syaikh Yusuf yang tidak saja pengaruhnya di bumi nusantara, melainkan sampai ke
Timur Tengah, Srilangka, dan ke Afrika Selatan. Sepeninggal Syaikh Yusuf, 23
Mei 1699, masyarakat sampai kini mengsakralkan kuburannya yang terletak di
Jalan Syaikh Yusuf Lakiung Sungguminasa, mereka datang ke sana untuk
berwasilah, ber-nazar, berdoa, dan bertabarruk.
Konsep utama ajaran tarekat yang
diajarkan kemudian dikembangkan Puang Ramma sesuai paradigma Syaikh Yusuf
al-Makassariy sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hamid, adalah pemurnian
kepercayaan (aqidah) pada keesaan Tuhan. Ini merupakan
usahannya dalam menjelaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Puang Ramma menekankan
keesaan Tuhan, keesannya-Nya tidak terbatas dan mutlak. Tauhid adalah komponen
penting dalam ajaran Islam, yang meskipun berpegang teguh pada transendensi
Tuhan, Puang Ramma percaya Tuhan itu mencakup segalanya (al-ahattah) dan
ada di mana-mana (al-ma’iyyah) atas ciptann-Nya. Lebih lanjut
Puang Ramma dalam mengajarkan tarekat ini, meskipun berpendapat bahwa Tuhan
mengungkapkan dirinya dalam ciptaan-Nya, hal itu tidak berarti bahwa
ciptaan-Nya itu adalah Tuhan itu sendiri, semua ciptaan adalah semata-mata al-mawjud
al-majazi. Dengan demikian dipahami bahwa, Puang Ramma percaya ciptaan
hanyalah bayangan Tuhan bukan Tuhan itu sendiri. Menurutnya “ungkapan” Tuhan
dalam ciptaan-Nya bukanlah berarti kehadiran “fisik” Tuhan dalam diri mereka.
Dengan konsep al-Ahathah dan al-Ma’iyah Tuhan
turun (tanazzul), sementara manusia naik (taraqqi), suatu proses
spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Namun proses itu tidak akan
mengambil bentuk dalam kesatuan akhir antara manusia dan Tuhan, sementara
keduanya menjadi semakin dekat berhubungan dan pada akhirnya manusia tetap
manusia dan Tuhan tetap Tuhan. Dengan demikian, Puang Ramma kelihatannya
menolak konsep wahdat al-wujud (kesatuan wujud) dan al-hulul (inkarnasi).
Di sini dipahami bahwa Puang Ramma lebih menekankan, keberadaan Tuhan tidak
dapat diperbandingkan dengan apa pun (laisa ka mitslihi syai’). Beliau
mengambil konsep konsep wahdat al-syuhud (kesatuan kesadaran).
Selanjutnya konsep Puang Ramma berkenaan wasilah,
adalah mediasi melalui dirinya sebagai mursyid, seorang pembimbing spiritual
adalah sesuatu yang sangat diperlukan demi kemajuan spiritual, yang karena itu
semasa hidupnya, Puang Ramma selalu mengadakan amalan ritual bersama jamaahnya.
Setiap
malam Jumat beliau mengumpulkan jamaahnya, dan mentradisikan pembacaan kitab
sirah Nabi saw., burdah al-Barazanji disertai salawatan di rumahnya, Jalan Baji
Bicara, banyak jamaah yang mengikuti rutinitas seperti ini. Demikian pula setiap
bulan Ramadhan, Puang Ramma menggelar acara zikiran, bahsul masail dalam forum
diskusi tasawuf dan pengajian bagi jamaahnya, terutama pada malam-malam ganjil
akhir Ramadhan.
Sepeninggal
Puang Ramma acara ritual seperti yang di-sebutkan di atas, senantiasa
mentradisi dan diamalkan secara berkelanjutan oleh jamaahnya, bahkan lebih
terorganiasir lagi karena jamaah tarekat Puang Ramma di era sekarang telah
membentuk organisasi dengan nama Darul Ahsan yang fokus pada amalan zikir, dan
untuk pengembangan dakwah jamaah tarekat Puang Ramma saat ini pula merintis
pembangunan Pesantren Tahfidzul Qur’an di Sudiang.
Berdasarkan
database terakhir, jumlah jamaah Tarekat Khalwatiyah Yusuf al-Makassariy
sepeninggal Puang Ramma, mencapai 10.000 orang, tersebar diberbagai daerah,
khususnya di Makassar, Gowa, Maros dan Pankep.
2. Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) di Sulawesi Selatan
Sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya, selain Puang Ramma sebagai mursyid tarekat,
beliau juga sebagai tokoh utama bersama ulama lainnya, mendirikan Nahdlatul
Ulama (NU) di Sulawesi Selatan, ormas Islam terbesar secara kultur di daerah
ini.
Nahdlatul
Ulama (NU) sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan
ijtimā’iyah (keagamaan dan sosial kemasyarakatan), sejak awal
berdirinya pada tanggal 31 Januari 1926 di kota Surabaya, yang dipelopori oleh
K.H. Hasyim Ay’ari, telah menjadikan faham aswaja (ahl al-sunnah wa
al-jama’ah) sebagai basis teologi (dasar berakidah) dan menganut salah satu
dari empat mazahab; Hanafī, Malikī, Syāfi’ī, dan Hanbalī sebagai pegangan dalam
berfikih, dan pada bidang tasawuf Akhlak lebih cenderung mengikut pada konsep
imam al-Gazali.
Organisasi
Nahdlatul Ulama (NU), menghimpun ulama, dan sebagai basis pergerakan ulama dan
pengkaderan ulama, sehingga arti Nahdlatul Ulama (NU) adalah “Kebangkitan
Ulama” yang memiliki tujuan untuk menghimpun ulama, dalam rangka mempromosikan
ajaran Islam menurut mazhab sunni dengan segala cara yang halal, memelihara
hal-hal yang berhubungan dengan masjid, anak yatim dan fakir miskin, dan
membentuk badan-badan untuk meningkatkan usaha sossial keumatan sesuai hukum
Islam.
Dalam
perspektif siyasah (ketatanegaraan), Nahdlatul Ulama (NU) sebagai wadah
pergerakan yang mempelopori perkumpulan kebangkitan ulama, merupakan organisasi
yang berasaskan Islam yang ajaran-ajarannya banyak mengandung tentang perjuangan,
secara ideologis dapat dipergunakan sebagai gerakan untuk menumbangkan
kekuasaan kaum penjajah. Kenyataan ini dapat dibenarkan, karena dalam masa kebangkitan nasionalisme
Indonesia, rakyat lebih mudah terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang berasaskan
Islam.
Hal ini dapat dilihat
pada anggaran dasarnya pasal, 2 tahun 1926, bahwa kegiatan NU di masa
penjajahan Belanda, diarahkan pada pengembangan agama Islam, dengan cara-cara
sebagai berikut:
1)
Memperbanyak
pengajian-pengajian, agar umat Islam kembali dan sadar akan segala kewajiban
terhadap agama, bangsa dan tanah air.
2)
Sehubungan
dengan penguasaan tanah Hijaz oleh ibnu Su’ud yang beraliran Wahabi, NU
memperjuangkan berlakunya hukum-hukum ibadah dalam empat mazhab di tanah Hijaz.
3)
Mendirikan
Madrasah-madrasah di tiap-tiap cabang, untuk memper-tinggi budi pekerti dan
kecerdasan masyarakat.
4)
Menuntut
agar dicabutnya ordonansi guru 1925, yaitu tentang izin bagi guru-guru agama. [10]
Sense
setting sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), bermula dari suatu
kelompok diskusi taswīr al-afkār (potret pemikiran) yang dibentuk oleh
K.H. Hasyim Ay’ari, K.H. Wahab Hasbullah dan K. H. Mas Mansur. Dari kelompok diskusi inilah
kemudian dibentuk organisasi yang diberi nama jam’iyah nahdhah al-wathan (perkumpulan
kebangkitan tanah air). Organisasi ini, bertujuan untuk memperluas dan
mem-pertinggi mutu pendidikan madrasah.
Pada tanggal
21-27 Agustus 1925, diadakan kongres al-Islam keempat di Yogyakarta, yang
membahas persoalan “pemurnian ajaran Islam” dan masalah “khilāfah”.
Disebabkan posisi yang tidak mengutungkan, dan dengan maksud untuk tetap
mempertahankan terpeliharanya praktek keagamaan tradisional, seperti ajaran-ajaran mazhab yang empat, pe-meliharaan
kuburan Nabi saw., dan keempat sahabatnya di Madinah, maka lalu dibentuklah suatu komite
yang diberi nama “Komite Merembuk Hijaz”. Komite inilah, yang kemudian pada
tahun berikutnya, berubah nama menjadi Nahdlatoel Oelama [Nahdlatul
Ulama][11]
yang disingkat menjadi “NU” dan diketuai oleh K.H. Hasyim Asy’ary.
Dalam skala
nasional, saham NU sangat banyak di saat pra dan detik-detik kemerdekaan RI.
Diterimanya Pancasila dan UUD 1945 sebagai pilar konstitusi negara RI merupkan
sebuah perjanjian luhur bangsa yang tidak lepas dari peran nasionalis dan
pemuka NU. Sungguhpun dikatakan kelompok tradionalis, wawasan kebangsaan dan
sikap kenegaraan para tokoh NU saat itu mencerminkan pola pemikiran yang
dinamis dan modernis.[12]
Bisa dikatakan bahwa dalam periode tiga dasawarsa pertama ini, NU telah
berhasil melakukan sebuah transformasi besar-besaran, khususnya di bidang
sosial dan budaya.
Selepas
proklamasi kemerdekaan, orientasi NU lebih terkonsetrasikan pada transformasi
bidang sosial-politik. Jasa para kiai dan warga NU dalam perang kemerdekaan,
sangat memberi andil bagi kelangsungan negara RI. Begitu juga keberadaan NU
sebagai sebuah parpol pada pemilu tahun 1955 yang menempati urutan ke-3 (20%
kursi) mampu mem-berikan arah perjuangan bangsa. Dalam situasi demikian, NU
berkembang dan melebarkan sayapnya secara merata ke ber-bagai wilayah termasuk
di Sulawesi Selatan, yang sebelumnya memang telah didirikan Rabithatul Ulama
sebagai organisasi berkumpulnya ulama yang berpaham Aswajah.
Rabithatul
Ulama yang disingkat RA, adalah ormas embrio kelahiran NU pertama kali di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dibentuk
pada 8 April 1950 atas prakarsa K.H Ahmad Bone, K.H Muhammad Ramli, K.H.
Jamaluddin Assegaf Puang Ramma, Andi Mappayukki, K. H. Saifuddin, Mansyur Daeng
Limpo dan beberapa ulama sejawatnya.
K.H. Ahmad Bone, wafat
12 pebruari 1972 pada usia 102 tahun, yang juga dikenal sebagai “Kali Bone”
(qadhi atau hakim agama di bekas Kerajaan Bone) berjuang bersama dengan Raja
Bone Andi Mappanyukki yang pertama kali membentuk organisasi ulama yang sejalan
dengan paham NU di wilayah kerajaannya pada tahun 1930-an.
K.H. Muhammad Ramli
berjuang di daerah Luwu, bersama dengan Raja Luwu, Andi Djemma. Kiai nasionalis
ini dikenal sebagai seorang Sukarnois di Palopo masa itu. Sementara para ulama
Rabithatul Ulama lainnya yang ke-banyakan
menetap di kota Makassar, sebelumnya berjuang di kampung-kampung kota, seperti
di Bontoala, memperjuang-kan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
Kepengurusan awal
dipegang oleh K.H. Ahamd Bone sebagai ketua, sementara K.H. Muhammad Ramli
sebagai wakilnya. Sekretaris dijabat oleh K.H Saifuddin, Qadhi Polewali, wakil
sekretaris adalah K.H Jamaluddin Assegaf Puang Ramma sebagai Qadhi Gowa saat
itu, dan H. Mansyur Daeng Limpo, mengetuai Bidang Pendidikan dan Dakwah.
Ulama lainnya yang
bergabung dalam kepengurusan Rabithatul Ulama, di antaranya K.H Sayid Husain
Saleh Assegaf (waktu itu menjabat sebagai Konsul NU Sulawesi Selatan), K.H.
Paharu, K.H Muhammad Nuh, K.H Abdul Muin, K.H. Muhammad Said, K.H Abdur Razaq,
K.H Abdur Rasyid, K.H Abdul Haq, K.H. Muhammad Saleh Assegaf, KH Abdurrahman
Daeng Situju, dan K.H. Muhammad Asap.
Kantor Rabithatul Ulama,
beralamat di rumah kediaman K.H. Ahmad Bone, bertempat di Jalan Diponegoro, Distrik
Matjini Aijo, Makassar. Di jalan itu pula terdapat makam pahlawan nasional
Pangeran Diponegoro.
Pengurus Rabithatul
Ulama kemudian menfasilitasi ter-bentuknya Partai Nahdlatul Ulama di Sulawesi
Selatan pada tahun 1952 atas permintaan K.H Wahid Hasyim (waktu itu sebagai
Menteri Agama dan Ketua PBNU). Semua pengurus dan anggota Rabithatul Ulama bergabung
ke NU. Kecuali K.H. Muhammad Saleh Assegaf dan K.H. Abdul Razaq tetap bertahan
masing-masing di Masyumi dan di PSII. Demikian pula, ulama kharismatik K.H.
Abddurrahman Ambo Dalle, pendiri DDI (Darud dakwah wal-Irsyad), yang sempat
bertemu dengan K.H. Wahid Hasyim juga bertahan di PSII. Tapi semuanya tetap
mendukung perjuangan NU dalam menegakkan Islam Ahlussunnah Waljamaah di tanah
Bugis-Makassar.
Setelah ulama-ulama yang
disebutkan tadi bergabung di NU, maka dengan sendirinya Rabithatul Ulama
dinyatakan bubar, dan dibentuklah pengurus baru NU Sulawesi Selatan dengan
struktur yang sama dengan Rabithatul Ulama yang disebutkan tadi. Dalam
kepengurusan NU tersebut, Puang Ramma sebagai wakil sekertaris dan diberi tugas
khusus di Kabupaten Gowa untuk memberikan pertimbangan kepada pemerintah
mengenai masalah-masalah keagamaan yang muncul di tengah masyarakat.
Di Kabupaten Gowa, Puang
Ramma yang kapasitasnya sebagai qadhi, mendirikan pengajian dan majelis ta’lim
bagi kaum nahdliyyin, dan membuka forum bahtsul masail, yang membahas
masalah-masalah keagamaan yang lebih aktual. Selain itu, forum ini juga berfungsi
sebagai wadah kaderisasi ulama NU dengan menekankan pada pembelajaran pengajian
kitab kuning.
Struktur kepengurusan
NU, pada awal terbentuknya mencerminkan konfigurasi sosial masyarakat
Bugis-Makasar, dengan empat pilarnya, yakni to panrita (ulama), to
sugi (pengusaha), to acca (cendekiawan), dan to warani (kaum
bangsawan dan anak muda). Keempat pilar ini dihimpun dalam jajaran pengurus dan
karena kekuataan massa yang dimilikinya, Partai NU, menjadi kunci kemenangan NU
di Sulawesi Selatan pada Pemilu tahun 1955. Mereka memberi kontribusi sekitar
12 persen bagi keseluruhan suara NU di tingkat nasional.
Puang Ramma dan K.H. Muhammad Ramli, kemudian
terpilih mewakili NU di dewan Konstituante (1956-1959) di Bandung. Saat
menjalankan tugasnya sebagai anggota dewan, K.H. Muhammad Ramli wafat pada 3
Februari 1958 di Bandung, dan dimakamkan di Pemakaman Arab, Bontoala, Makassar.
Sepeninggal ulama NU ini, Puang Ramma tetap di dewan dan menjalankan tugas
sampai akhir periode, selanjutnya Puang Ramma mewakili NU di DPRD Sulawesi
Selatan, dan sejak Muktamar NU ke-27 Situbondo, yang menetapkan bahwa NU
kembali ke khittah 1926, Puang Ramma, tidak lagi menjadi anggota dewan,
namun tetap ber-konsentrasi pada pengkhidmatan NU, sampai akhirnya Puang Ramma
dipercaya menjadi Rais Syuriah NU tahun 1977-1982,
selanjutnya menjabat mustasyar PWNU Sulawesi Selatan sampai akhir hayatnya.
[1]Lihat
Luwis Ma’lūf, Al-Munjid fiy al-Lugah wa al-A’lām (Bairūt: Dār
al-Masyriq, 1977), h. 803.
[2]Misalnya
dikatakan fulan bin Hamid bin Himad maksudnya adalah ayahnya fulan bernama
Hamid dan kakeknya bernama Himad. Jika dia perempuan, maka fulanah binti Hamid
binti Himad.
[3]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
Suci Al-Qur’an, 2002), h. 667.
[4]Dikutip dari Ijazah Silsilah Tarekat al-Mu’tabarah
al-Khalwatiyah Yusuf al-Makassariy.
[5]Simuh,
Tasauf dan Perkembangan dalam Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h.
22.
[6]Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu
tarekat. Karena ia tidak saja merupakan seorang pembimbing yang mengawasi
murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyyah sehari-hari agar tidak menyimpang
dari ajaran islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan
pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung)
dengan Allah swt. Lihat Ja’far Sabran, Miftahul Ma’rifah (Surabaya:
Pelita Dunia, 1992), h. 23.
[7]Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Cet II;
Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1978), h. 89
[8]Sekarang
terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir bersama. Keduanya
dikenal dengan nama tarekat khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman.
Tarekat Khalwatiyah Yusuf disandarkan kepada nama Syaikh Yusuf al-Makasariy dan
tarekat Khalwatiyah Samman diambil dari nama seorang sufi Madinah abad ke-18,
Muhamad al-Samman.
[9]Lihat
Abu Hamid, Syekh Yusuf; Seorang Ulama Sufi dan Pejuang (Cet. I; Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,1994), h. 60.
[10]Ahmad Zahro, Lajnah Bahsul Masail
1926-1999; Tradisi Intelektual NU (Yogyakarta:
LkiS, 2004), h. 52. Lihat juga S.J. Rutgers, Sejarah Pergerakan Nasional
Indonesia (Cet. II, Surabaya:Hayan Wuruk, 1955), h. 17.
[11]Martin
Van Bruinessen, Traditional Muslim in A Modernizing World The Nadhlatul
Ulama, diterjemahkan oleh Farid Wajedi dengan judul NU; Tradisi
Relasi-relasi Kuasa Pen-carian Wacana Baru (Cet. I; Yogya: LKIS, 1994), h.
7-8
[12]Pada
tahun 1935, dalam Muktamar NU di Banjarmasin diputuskan bahwa sungguhpun saat
itu di bawah naungan pemerintah Belanda, NU menganggap sebagai Dār al-salām,
bukan Dār al-Harb. Sekali-sekali, perjuangan dan komitmen NU tidak pernah
menampakkan formalisme Islam, akan tetapi tidak lepas dari nilai-nilai
keislaman. Lebih lanjut, lihat K.H. Said Aqiel Siradj, “Nahdlatul Ulama di Era
Reformasi” dalam Jauhar Hatta Hasan (ed), Islam Kebangsaan; Fiqih Demokratik
Kaum Santri (Cet. I; Jakarta: Pustaka Cinganjur, 1999), h. 146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar